Banyak sekali pemahaman-pemahaman jama'ah LDII yang
sangat jauh menyimpang dan menyesatkan. Berikut kami paparkan beberapa
penyimpangan dan kesesatan pemahaman jama'ah LDII
sebagai penerang atau penjelasan lebih detail semoga dapat bermanfaat terutama
bagi mereka yang sedang bingung dan ragu karena dibujuk oleh kelompok sesat ini.
semoga kaum Muslimin akan memahami dan berhati-hati terhadap bujukan dan rayuan
berbagai macam aliran yang menyimpang.
9.1 Kesesatan/Penyimpangan LDII Dari Segi Imamah
Pokok atau pangkal kesesatan Islam Jama'ah/Lemkari/LDII
(sekarang: Lembaga Dakwah Islamiyah Indonesia) yang utama terletak pada otoritas
mutlak bagi imam yang dibai'at, yaitu H. Nurhasa Ubaidah Lubis (Madigol) dengan
nama kebesarannya: Al-Imam Nurhasan Ubaidah Lubis Amir. Sekarang keamirannya
dilanjutkan oleh anaknya, yaitu Abdul Dhohir.
Mereka menafsirkan serta mengimplementasikan Al-Qur'an
dan hadits dengan cara dan keinginan mereka sendiri. Sejak awal, semua anggota
sudah diarahkan atau didoktrin untuk hanya menerima penafsiran ayat dan hadits
yang berasal dari imam/amirnya. Dan mereka menyebutnya dengan istilah MANQUL.
Jadi, semua anggota Islam Jama'ah/Lemkari/LDII dilarang untuk menerima segala
penafsiran yang tidak bersumber dari imam/amir karena penafsiran yang tidak
bersumber dari imam dikatakannya semua salah, sesat, berbahaya dan tidak manqul.
Doktrin ini diterima sebagai suatu keyakinan oleh semua anggota Islam
Jama'ah/Lemkari/LDII.
Maka sudah tentu pendapat atau pemahaman yang seperti
ini tidak dapat dibenarkan. Karena Al-Qur'an dan Hadits tidak ada yang
menyebutkan bahwa otoritas/kekuasaan mutlak untuk menafsirkan dan
mengimplementasikan ayat-ayat Al-Qur'an dan Hadits berada di tangan imam.
Amir/imam mereka (Islam Jama'ah/Lemkari/LDII) dalam
rangka mendoktrinkan anggotanya soal imamah menggunakan Al-Qur'an surat
Al-Isra': 71) yang artinya:
"Pada hari Kami memanggil
tiap-tiap manusia dengan Imam mereka." (Q.S.Al-Isra':71)
Menurut penafsiran Nur Hasan Ubaidah Lubis(Madigol):
Pada hari kiamat nanti setiap orang akan dipanggil oleh Allah dengan didampingi
oleh imam mereka yang akan menjadi saksi atas semua amal perbuatan mereka di
dunia. Kalau orang itu tidak punya imam dikatakannya pada hari kiamat nanti
tidak ada yang menjadi saksi baginya sehingga amal ibadahnya menjadi sia-sia dan
dimasukkan kedlam neraka. Oleh karena itu, katanya semua orang Islam harus
mengangkat atau membai'at seorang imam untuk menjadi sksi bagi dirinya pada hari
kiamat. Dan jama'ah harus taat kepad imamnya agar nanti disksikan baik oleh imam
dan dimasukkan ke dalam surga, dan orang yang paling berhak menjadi Imam adalah
Nur Hasan Ubaidah Lubis (Madigol), katanya. Karena dia dibai'at pada tahun 1941,
maka orang-orang yang mati sebelum tahun 1941, berarti mereka belum berbai'at,
jadi pasti masuk neraka, katanya.
Menurut penafsiran pada pemahaman yang lurus (dapat
dilihat dalam tafsir Ibnu Katsir):
Lafazh imam dalam ayat itu, menurut Mujahid dan Qatadah
artinya ialah: nabiyyihim "nabi mereka." Sehingga sebagian ulama salaf berkata,
bahwa ayat ini menunjukan kemuliaan dan keagungan para pengikut hadits
(Ash-habul-Hadits), karena pada hari kiamat nanti mereka akan dipimpin oleh
Rasulullah SAW (bukan dipimpin oleh Nur Hasan/Madigol, orang Jawa Timur yang
baru lahir kemarin).
Sedangkan Ibnu 'Abbas mengatakan bahwa yang dimaksud
'imam' di dalam ayat itu, ialah bikitaabi a'maalihin "Kitab catatan amal
mereka", seperti yang disebutkan dalam surah Yasin:12 yang berbunyi :
"Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam kitab yang
nyata."
Jadi, menurut dua keterangan ini, pada hari kiamat
tiap-tiap orang akan dipanggil oleh Allah dengan didampingi oleh nabi-nabi
mereka dan juga kitab- kitab catatan amal mereka. Siapa saja yang ingin meneliti
lebih jauh dalam masalah ini, silahkan periksa Tafsir Ibnu Katsir juz III hal.
52. Yang pasti di situ tidak ada penafsiran yang tidak ada landasannya sama
sekali alias ngawur seperti penafsiran si Madigol.
Berikutnya penafsiran hadits yang berbunyi:"
Tidak halal bagi tiga orang yang
berada di bumi falah (kosong), melainkan mereka menjadikan amir (pemimpin)
kepada salah satu mereka untuk memimpin mereka." (HR.Ahmad).
Hadits ini terdapat dalam kitab himpunan hadits koleksi
Islam Jama'ah/LDII yang bernama "Kitabul-Imarah" pada halaman 255 dan
dicantumkan tanpa sanad yang lengkap, jadi langsung dari sumber utamanya, yaitu
Abdullah bin Amr bin Ash. Dari segi penulisan sumber hadits saja mereka itu
tidak faham.
Menurut penafsiran Nur Hasan Ubaidah Lubis (Madigol)
tentang hadits di atas adalah sbb:
- Setiap Muslim di dunia ini, tidak halal hidupnya alias
haram. Makannya haram, minumnya haram, bernafasnya haram dll.
- Dan setiap Muslim yang hidupnya masih haram karena
belum bai'at, maka harta bendanya halal untuk diambil atau dicuri, dan
darahnyapun halal, karena selama ia belum bai'at mengangkat seorang iamam,
setatusnya sama dengan orang kafir dan islamnya tidak sah.
Penafsiran Nur Hasan (Madigol) ini jelas menyimpang jauh
dari kebenaran dan menyesatkan-pemahaman. Pertama, hadits ini tidak berbicara
mengenai pembai'atan karena di dalamnya tidak ada lafazh bai'at sama sekali.
Hadits ini hanya menyebut soal Amir atau pemimpin dalam safar/perjalanan. Hal
ini ditunjukkan oleh lafazh 'ardh falatin' yang artinya daerah yang tidak
berpenghuni, dan lafazh 'ammaru' yang artinya menjadikan amir atau mengangkat
amir. Di situ tidak ada lafazh 'baaya'uu' yang artinya membai'at.
Kedua, hadits ini adalah hadits yang tidak sahih atau
hadits dhaif atau lemah karena di dalam sanadnya (lihat kitab: Al-Ahaditsud
Dha'iefah, hal. 56, juz ke-II, nomor hadits 589) ada seoarang yang bernama Ibnu
Luhai'ah yang dilemahkan karena hafalannya yang buruk. Dan para ulama ahlul
hadits sepanjang masa, dari dulu sampai sekarang tidak menghalalkan penggunaan
hadits yang dha'ief sebagai hujah untuk menetapkan suatu kewajiban dalam
beribadah kepada Allah, kecuali hanya dengan hujah yang sahih.
Ini merupakan bukti bahwa Nur Hasan (Madigol) sebetulnya
tidak mengerti ilmu hadits, yang akhirnya menimbulkan kekacauan pemahaman dan
menyesatkan.
Berikutnya, hadits (atsar atau hadits mauquf yang
diucapkan Umar bin Khaththab) yang berbunyi: "Tidak ada Islam tanpa jama'ah, dan
tidak ada jama'ah tanpa imarah, dan tidak ada imarah tanpa ketaatan." Atsar atau
hadits mauquf ini terdapat dalam Kitabul-Imarah milik Islam Jama'ah/LDII hal.
56-57, yang dicantumkan tanpa sanad yang lengkap.
Penafsiran menurut Nur Hasan Ubaidah lubis (Madigol)
ialah sbb:
- Islam seseorang itu tidak sah kecuali dengan
berjama'ah. Dan yang dimaksud jama'ah katanya ialah jama'ahnya Nur Hasan
(Madigol).
- Jama'ah juga tidak sah kalau tanpa imam. Dan yang
dimaksud iamam ialah Nur Hasan Ubaidah Lubis (Madigol).
- Harusnya Nur Hasa menafsirkan" "Imamah juga tidak sah
tanpa ketaatan." Sesuai dengan urutan penafsirannya pada point 1 dan 2. Akan
tetapi dengan lihai Nur Hasan memutar penafsiran point 3 dengan ucapan :
"Ber-Imam atau mengangkat imam atau Bai'at seseorang itu tidak sah kecuali
dengan melaksanakan ketaatan kepada imam."
Pendapat Nur Hasan Ubaidah Lubis (Madigol) Ini sudah
menjadi aqidah yang diyakini oleh semua pengikutnya. Padahal, hadits mauquf pun
tidak sah dipakai sebagai hujjah, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Hazmin dalam
kitab Al-Muhalla juz I hal.51, artinya: "Hadits mauquf dan hadits mursal,
kedua-duanya tidak dapat dipakai sebagai hujjah."
9.2 Penyimpangan Pemahaman Imamah Dan Bai'at
Imamah atau kepemimpinan dalam Islam lebih dikenal
dengan istilah khilafah. Dan orang yang menduduki jabatan tersebut, disebut
Khalifah. Adapun ta'rif atau definisial-khalifah dari segi bahasa ialah:"Seorang
yang menggantikan orang lain dan menduduki jabatannya." Sedangkan pengertian
menurut sara', ta'rifnya ialah :
"Penguasa yang tinggi."
(lihatMukhtarush-Shihahhal.186). Atau ta'rif syara' yang lain lagi:"Imam yang
tidak ada lagi imam di atasnya." (atau pemimpin tertinggi).
Dalam sebuah hadits sahih, Rasulullah SAW bersabda, yang
artinya :
"Adalah Bani Israil dipimpin
oleh para Nabi, ketika seorang Nabi wafat maka digantikan oleh seorang Nabi yang
lain. Dan sesungguhnya tidak ada Nabi sesudahku, yang ada adalah para Khalifah,
maka jumlah mereka pun banyak ?" (HR.Muslim)
Imam Nawawi menerangkan hadits ini dalam syarahnya,
beliau berkata:
"Para Nabi di kalangan Bani
Israil memimpin mereka sebagaimana layaknya para penguasa (Umara) memimpin
rakyatnya." (Lihat syarah Muslim juz XII, hal. 231 oleh Imam Nawawi).
Dengan kata lain, para Nabi itu bukanlah pemimpin
sepiritual semata akan tetapi mereka adalah para penguasa yang melakukan
kegiatan siyasah (politik) demi kemaslahatan umatnya di dunia dan akhirat.
Mereka pun melakukan perang untuk melawan musuh- musuh mereka. Dan seperti itu
pula Rasulullah SAW di samping kedudukannya sebagai utusan Allah, beliau juga
seorang militer dan pemimpin tertinggi bagi Daulah Islam yang pertama.
Jadi, khalifah atau imam dalam syari'at Islam identik
dengan kepemimpinan Negara. Bukan pemimpin sepiritual dan keberadaannya tidak
untuk mensahkan Islam atau keislaman seseorng seperti yang diucapkan Nur Hasan
(Madigol). Tetapi ia (imam) berfungsi untuk menjalankan pemerintahan berdasarkan
syari'at Islam, yaitu Al-Qur'an dan Sunnah. Hal ini tercermin dengan jelas dalam
pidato Abu Bakar r.a., pada saat pelantikannya menjadi khalifah yang pertama
dalam Islam, yang artinya:
"Wahai manusia, sesungguhnya aku
telah dijadikan penguasa atas kalian, bukan berarti aku yang paling baik
diantara kalian, maka jika aku melakukan kebaikan, tolonglah aku. Dan jika aku
melakukan penyimpangan, cegahlah aku. Kejujuran itu merupakan amanat dan
kebohongan adalah khianat. Adapun orang-orang yang lemah diantara kalian justru
kuat dihadapanku sampai aku dapat mengembalikan hak-haknya. Sedangkan
orang-orang yang kuat diantara kalian justru lemah dihadapanku, sampai aku
mengmbil hak-haknya. Jangan sampai seorang dari kalian meninggalkan jihad,
melainkan Allah berikan (jadikan) kehinaan bagi mereka. Taatlah kepadaku selama
aku mentaati Allah dan Rasul-Nya. Maka apabila menentang Allah, tidak ada
kewajiban bagi kalian mematuhiku?" (Itmamul-Wafa'fiSiratilKhulafa',hal.16).
Di dalam riwayat lain, ada beberapa tambahan dalam
khutbah beliau ini di antaranya ialah, yang artinya:
"...akan tetapi Al-Qur'an telah
diturunkan, dan Nabi SAW pun telah mewariskan sunnahnya. Wahai manusia,
sesungguhnya aku hanyalah pengikut (muttabi), dan sekali-kali aku tidak
membut-buat peraturan yang baru (bid'ah). - Dalam satu riwayat - Abu Bakar
berkata: Dan apabila kalian mengharpkan wahyu dariku, seperti yang Allah berikan
kepada Nabi-Nya, maka aku tidak memilikinya, karena aku hanyalah manusia biasa,
jadi perhatikan oleh kalian segala tindak- tanduk dan ucapanku." (Lihat
Hayatush-Shahabah juz III, hal. 427).
Dalam khutbahnya, Abu Bakar r.a. sama sekali tidak
menyebut-nyebut dibai'atnya beliau menjadi khalifah adalah untuk mensahkan
Islamnya kaum Muslimin dan beliau juga tidak mengatakan bahwa siapa saja yang
menolak berbai'at, maka Islamnya batal. Akan tetapi beliau Abu Bakar r.a.
menjelskan fungsi imamah atau khalifah dalam syari'at Islam sebagaimana
tersimpul dari khutbah ini, yaitu:
- Beliau telah diangkat menjadi penguasa, seperti
ucapannya: Qod wulliitu 'alaikum. Jadi, kkhalifah itu adalah penguasa, seperti
telah dijelaskan sebelumnya.
- Khalifah bertanggung jawab untuk mengembalikan hak-hak
orang yang lemah dan mengambil hak-hak yang kuat atau kaya. Ini beliau buktikan
dengan memerangi orang-orang yang tidak mau menunaikan zakat.
- Khalifah harus menjunjung tinggi kejujuran sebagai
amanah dan menjauhi ucapan dusta yang merupakan pengkhianatan.
- Menerangkan kepada umat batas-batas ketaatan kepada
khalifah, yaitu sepanjang ia mentaati Allah dan Rasul-Nya. Artinya, mentaati dan
mematuhi khalifah itu hukumnya wajib selama ia mematuhi Al-Qur'an dan Sunnah.
- Khalifah tidak boleh membuat-buat peraturan (syari'at)
baru (bid'ah) dalam agama, tetapi ia harus bersikap sebagai muttabi', yaitu
mengikuti aturan syari'at.
- Khalifah tidak dapat menggantikan kedudukan Nabi
sebagai penerima wahyu.
- Khalifah adalah manusia biasa, dan umat senantiasa
harus melakukan kontrol terhadap segala tindak tanduk serta ucapannya. Dengan
kata lain, umat tidak boleh menerima begitu saja segala ucapan dan perbuatannya.
Dalam sejarah, kita bisa melihat bahwa Abu Bakar
melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai khalifah pengganti Rasulullah
SAW sebagaimana layaknya seorang kepala negara. Begitu pula khalifah-khalifah
sesudah beliau, seperti: Khalifah Umar bin Khaththab, Khalifah Utsman bin Afan,
Khalifah Ali bin Abi Thalib, Khalifah Mu'awiyyah bin Abi Sufyan dan seluruh
khalifah dari Bani Umayyah serta Bani 'Abbasiyyah. Inilah pengertian 'IMAMAH'
yang sesungguhnya menurut syari'at Islam. Dari keterangan dan hujah yang jelas
ini, kita bisa menyimpulkan betapa sesat dan menyimpangnya ajaran
kelompok/jama'ah LDII.
9.3 Memahami Konsep Bai'at Dalam Syari'at
Bai'at adalah perjanjian untuk taat, dimana orang yang
berbai'at bersumpah setia kepada imam atau khalifahnya untuk mendengar dan taat
kepadanya, baik dalam hal yang menyenangkan maupun hal yang tidak disukai, dalam
keadaan mudah ataupun sulit.Patuh kepada khalifah atau berbai'at untuk
mematuhinya hukumnya wajib, sebagaimana sabda Rasulullah SAW, yang artinya:
"Maka apabila engkau melihat
adanya khalifah, menyatulah padanya, meskipun ia memukul punggungmu. Dan jika
khalifah tidak ada, maka menghindar." (HR. Thabrani dari Khalid bin Sabi', lihat
Fathul Bari, juz XIII, hal. 36).
Nabi SAW menegaskan, bahwa wajibnya bai'at adalah kepada
khalifah, jika ada atau terwujud meskipun khalifah melakukan tindakan-tindakan
yang tidak terpuji seperti memukul,dll.Thabrani mengatakan bahwa yang dimaksud
menghindar ialah menghindar dari kelompok-kelompok partai manusia (golongan
/firqah-firqah), dan tidak mengikuti seorang pun dalam firqah yang ada. (Lihat
Fathul Bari, juz XIII, hal.37). Dengan kata lain, apabila khalifah atau
kekhalifahan sedang vakum, maka kewajiban bai'atpun tidak ada.Juga, sabda
Rasulullah SAW, yang artinya:
"Barang siapa mati tanpa bai'at
di lehernya, maka matinya seperti mati jahiliyah." (HR. Muslim).
Yang dimaksud bai'at disini ialah bai'at kepada
khalifah, yaitu jika masih ada di muka bumi.
Nur Hasan (Madigol), pemimpin kelompok jama'ah LDII,
menggunakan hadits ini untuk dijadikan dasar mengambil bai'at dari pengikutnya
bagi dirinya. Ini adalah manipulasi pemahaman yang jauh menyimpang dan
menyesatkan. Dengan kata lain Nur Hasan (Madigol) dan anaknya yang menjadi
penerusnya yang menjadi imam Islam Jama'ah/LDII sekarang ini, telah menempatkan
dirinya sebagai khalifah, padahal ia dan juga anaknya sama sekali bukan khalifah
dan tidak sah atas pengakuan kelompoknya itu. Dan menurut Nur Hasan, mati
jahiliyah dalam hadits ini ialah sama dengan mati kafir. Pendapat ini
bertentangan dengan pendapat para ulama ahli hadits, seperti disebutkan oleh
Ibnu Hajar, bahwa mati jahiliyyah dalam hadits ini bukanlah mati kafir,
melainkan mati dalam keadaan menentang. (Lihat Fathul Bari, juz XIII, hal. 7).
Disamping itu, pemahaman Nur Hasan Ubaidah Lubis
(Madigol) itu mengandung konsekuensi pengkafiran terhadap sebagian sahabat Nabi
SAW yang tidak mau berbai'at kepda khalifah, seperti: Mu'awiyyah bin Abi Sufyan
yang tidak mau berbai'at kepada Khalifah Ali bin Abi Thalib, tidak ada seorang
sahabatpun yang mengkafirkan Mu'awiyyah, termasuk Khalifah Ali. Begitu pula
Husein bin Ali yang menolak berbai'at kepada Khalifah Yazid bin Mu'awiyyah, juga
Zubair, padahal khalifah-khalifah itu merupakan penguasa-penguasa kaum Muslimin
yang sah, tidak seperti Nur Hasan Ubaidah Lubis (Madigol) dan anaknya Abdul
Dhohir. Dan mengkafirkan sahabat-sahabat Rasulullah SAW termasuk perbuatan
murtad.
Dan terdapat ayat yang artinya:
"Bahwasannya orang-orang yang
berjanji (berbai'at) kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada
Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barang siapa yang melanggar
janjinya niscaya akibat melanggar janji itu, akan menimpa dirinya sendiri dan
barang siapa menepati janji kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang
besar." (Q.S.Al-Fath:10)
Maka aliran yang mendasarkan ayat ini sebagai hujah
untuk mengambil bai'at bagi jama'ah pengikutnya tidaklah dapat dibenarkan dan
merupakan pemahaman yang menyimpang dan menyesatkan. Karena surat Al-Fath ayat
10 menceritakan peristiwa Baitur Ridhwan, yaitu berbai'atnya para sahabat kepada
Nabi SAW dalam tekad untuk memperjuangkan nasib Utsman yang menurut perkiraan
mereka ditawan orang-orng Qurasy. Kejadian ini terjasi di Hudaibiyah tatkala
rombongan Rasulullah SAW yang hendak melakukan umrah ke Makkah ditahan
orang-orang Qurasy.
Maka tidak ada keterangan yang jelas tentang bai'at
sebagai suatu syarat sahnya keislaman seseorang. Dalam hadits-hadits juga tidak
diperoleh periwayatan tentang pembai'atan atas keislaman keislaman seseorang.
Jika hal itu ada tentunya banyak periwayatan yang demikian, karena hal seperti
itu merupakan peristiwa yang penting dalam sejarah Islam dan memiliki tasyri'
yang besar.
Dan Ketahuilah bahwa sekarang ini, kaum Muslimin atau
dunia Islam tidak mempunyai Khalifah yang memimpimnya. Maka hendaklah setiap
Muslim menjauh dari firqah-firqah yang menyesatkan. Dalam hal ini Imam Bukhari
telah menyusun satu bab khusus yang berjudul "Bagaimana perintah syari'at jika
jama'ah tidakada?"
Ibnu Hajar berkata, bahwa yang dimaksud di sini ialah:
Apa yang harus dilakukan oleh setiap Muslim dalam kondisi perpecahan diantara
umat Islam, dan mereka belum bersatu di bawah pemerintahan seorang khalifah.
Kemudian Imam Bukhari menukilkan hadits Hudzaifah bin
Yaman r.a. yang bertanya kepada Rasulullah SAW, yang artinya:
"Maka, bagaimana jika mereka,
kaum Muslimin tidak memiliki Jama'ah dan tidak memiliki Imam? Rasulullah SAW
menjawab: "Maka tinggalkanlah olehmu semua golongan yang ada, meskipun engkau
terpaksa makan akar pohon, sehingga engkau menjumpai kematian dan engkau tetap
dalam keadaan seperti itu."
Maksud hadits ini sama dengan hadits sebelumnya, yaitu
apabila khalifah tidak ada, maka menghindar. Hanya ada tambahan dalam hadits ini
"meskipun engkau terpaksa makan akar pohon?dst."
Menurut Baidhawi, kata-kata tersebut merupakan kinayah
atau kiasan dari kondisi beratnya menanggung sakit. Selanjutnya Baidhawi
berkata:
"Makna hadits ini ialah apabila
di bumi tidak ada khalifah, maka wajib bagimu menghindar dari berbagai golongan
dan bersabar untuk menanggung beratnya zaman." (Wallahu A'lam). (Lihat Fathul
Bari, juz XIII, hal. 36).
Demikian itulah pemahaman yang berdasarkan argumentasi
dan hujah yang jelas dan dapat dipercaya. Kami berharap amir berikutnya
sepeninggal Madigol, kelompok LDII ini menyadari kesesatannya dan bertaubat
kepada Allah SWT dan segera mengajak jama'ahnya berhaluan kepada ajaran yang
lurus. Sesungguhnya Allah Maha Menerima Taubat lagi Maha Penyayang.
9.4 Penyimpangan Dan Penyalahgunaan Dalam Mengambil
Hukum (Ijtihad)
Banyak sekali pemahaman Nur Hasan Ubaidah Lubis
(Madigol) yang menyimpang dari syari'at dan ditelan mentah-mentah oleh para
pengikutnya/ jama'ah LDII.
Nur Hasan Ubaidah Lubis (Madigol) menegaskan bahwa imam,
dalam hal ini dirinya sebagai imam jama'ah LDII, wajib ijtihad (mengeluarkan
hokum) untuk kepentingan jama'ahnya. Dalil yang digunakannya:
"Siapa saja penguasa, yang
menguasai suatu persoalan dari umatku, kemudian ia tidak memberi nasihat dan
ijtihad bagi mereka sebagaimana ia menasihati dan bersusah payah untuk
kepentingan dirinya, maka pasti Allah telungkupkan wajahnya di Neraka pada hari
kiamat." (HR.Thabrani)
Hadits ini terdapat (dimasukkan) dalam kitab Kanzul
Ummal edisi Islam Jama'ah/LDII dengan judul Kitabul Imarah,hal.21. Selanjutnya
Nur Hasan Ubaidah Lubis (Madigol) mengatakan bahwa berdasarkan hadits ini, ia
sebagai imam harus memberi nasehat dan ijtihad kepada jama'ah, sebab kalau
tidak, ia akan dimasukkan ke dalam Neraka. Oleh karenanya jama'ah harus taat
kepada Nur Hasan Ubaidah Lubis (Madigol), kalau tidak akan masuk Neraka.
Adapun yang dimaksud dengan ijtihad menurut Nur Hasan
Ubaidah Lubis (Madigol) ialah ide atau ilhamnya untuk membuat peraturan atau
undang- undang. Yaitu dengan menafsirkan menurut kemauan sendiri dari ayat-ayat
Al-Qur'an dan Allah-Hadits. Sebagai contoh:Dalam Al-Qur'an banyak skali
ayat-ayat yang berbicara mengenai kewajiban infaq, seperti dalam surah
Al-Baqarah: 3, yang artinya:
"Dan sebagian dari apa yang Kami
beri rizki kepada mereka, mereka menginfaqkannya."
Menurut Nur Hasan Ubaidah Lubis (Madigol), lafazh infaq
di dalam ayat ini dan juga ayat-ayat yang lain ialah setoran atau pemberian
harta dari jama'ah anggota LDII kepada imam Nur Hasan Ubaidah Lubis (Madigol).
Sedangkan besarnya setoran ditetapkan oleh Madigol sebesar 10 % dari setiap
rizki yang diterima anggota jama'ahnya. Ini merupakan ijtihad Madigol yang harus
ditaati. Tinggal terserah para anggota LDII, apakah mau masuk Surga atau Neraka.
Kalau mau masuk Surga ya harus taat kepada Nur Hasan Ubaidah Lubis (Madigol).
Na'udzubilahimindzalik.
Menurut pendapat yang benar dari para ulama Ahli Sunnah
wal Jama'ah, mengenai hadits tentang ijtihad ialah bahwa ijtihad hanya boleh
dilakukan pada saat tidak ada dalil/nash dari Al-Qur'an maupun Hadits. Hal ini
dapat dapat diperjelas dari suatu riwayat dari kawan-kawan Mu'adz bin Jabal,
dari Rasulullah SAW, ketika beliau mengutus Mu'adz ke Yaman, maka beliau
bersabda, yang artinya:
"Bagaimana engkau menghukum?."
Muadz berkata: "Aku akan menghukumi dengan apa yang ada di dalam Kitabullah."
Beliau bersabda: "Maka jika tidak ada dalam Kitabullah?." Muadz menjawab: "Maka
dengan sunnah Rasulullah SAW." Beliau berkata lagi: "Maka jika tidak ada dalam
sunnah Rasulullah?." Mu'adz menjawab: "Aku akan berijtihad dengan fikiranku."
Rasulullah SAW bersabda: "Segala puji bagi Allah yang tela hmemberi taufiq
pesuruh Rasulullah SAW."
(HR. Abu Dawud, Tirmidzi dan Darami)
Hadits ini dikatakan oleh Imam At-Tirmidzi isnadnya
tidak muttasil. Dan hadits ini diterima dan dipergunakan hujah oleh sebagian
besar para ulama ahli hadits dan ahli ushul fiqh. Nah kini kita bandingkan
dengan bid'ahnya Nur Hasan Ubaidah Lubis (Madigol) yang membuat-buat peraturan
dengan caranya sendiri.
Dan mengenai pemahaman ayat tentang infaq di atas, yang
benar menurut pemahaman ulama Ahli Sunnah wal Jama'ah adalah seperti yang
dijelaskan dalam tafsir Ibnu Katsir, mengenai infaq mencakup dua aspek, yaitu:
- Berbuat baik kepada semua makhluk, yaitu dengan memberi
manfaat yang besar kepada mereka.
- Zakat Mafrudhah atau yang diwajibkan. (Lihat Tafsir
Ibnutsir, juz I, hal. 42). Adapun zakat mafrudhah, sudah diatur tata-caranya
menurut syari'at yang sudah jelas, yaitu harta yang sudah mencapai nishabnya
(batas jumlah yang telah ditentukan) dan telah lewat masa satu tahun,
sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits dari Ali r.a. ia berkata: Telah
bersabda Rasulullah SAW, yang artinya: "Apabila ada bagimu dua ratus dirham dan
liwat atasnya satu tahun maka zakat padanya lima dirham, dan tidak wajib atasmu
sesuatu hingga ada bagimu dua puluh dinar dan liwat atasnya satu tahun maka
(zakat) padanya setengah dinar. Dan apa-apa yang lebih, maka (zakatnya) menurut
perhitungannya. Dan tidak ada di satu harta zakat hingga liwat atasnya satu
tahun." (HR.AbuDawud). Misalnya uang dinar (emas) apabila telah mencapai nishab
20 dinar, maka wajib dikeluarkan zakatnya sebesar setengah dinar. Begitu pula
mengenai zakat ternak, zakat hasil pertanian dan lain-lain semua sudah ada
ketentuannya menurut syari'at yang sudah lengkap. Maka Nur Hasan Ubaidah Lubis
(Madigol) tidaklah perlu digubris dengan membuat syari'at baru, bagi orang yang
mau berfikir.
Dari keterangan ini maka Nur Hasan Ubaidah Lubis
(Madigol) telah membuat syari'at baru kepada jama'ah pengikutnya (LDII) dan
mereka termasuk ahli bid'ah yang sesat. Penglihatan, pendengaran dan hati mereka
telah ditutup oleh Allah SWT sehingga mereka tidak bias melihat, mendengar, dan
merasakan getaran kebenaran dari Al-Qur'an dan As-Sunnah. Hanya orang-orang yang
dikehendaki-Nya saja yang akan keluar, insyaf dan bertaubat menuju ajaran yang
lurus.
9.5 Tentang Doktrin Ilmu Manqul
Menurut pengakuan Nur Hasan Ubaidah Lubis (Madigol)
bahwa ilmu itu tidak sah atau tidak bernilai sebagai ilmu agama kecuali ilmu
yang disahkan oleh Nur Hasan Ubaidah Lubis (Madigol) dengan cara mankul (mengaji
secara nukil), yang bersambung-sambung dari mulut ke mulut dari mulai Nur Hasan
Ubaidah Lubis (Madigol) sampai ke Nabi Muhammad SAW lalu ke Malaikat Jibril AS
dan Malaikat Jibril langsung dari Allah. Dengan kesimpulan bahwa ilmu agama itu
sah jika sudah dimankuli oleh Nur Hasan Ubaidah Lubis (Madigol), dan dia telah
menafikan semua keilmuan Islam yang datang dari semua ulama, ustadz, kiyai, dan
dari semua lembaga keislaman yang ada di dunia ini. Menurut pengakuan Madigol
ini hanya dirinya satu-satunya orang yang punya isnad/sandaran guru yang sampai
ke Nabi SAW. Sedangkan ulama-ulama lainnya di seluruh dunia tidak ada dan
ilmunya tidak sah dan haram, kata Madigol. Sehubungan dengan faham ilmu manqul
ini mereka bersandar pada suatu ucapan seorang Tabi'in yang bernama Abdullah bin
Mubarok yang artinya:
"Telah berkata Abdullah bin
Mubarok : "Sandaran guru itu termasuk dari pada agama. Dan kalaulah tidak ada
isnad, tentu orang akan mengatakan semau-maunya dalam agama ini." (Dapat dilihat
dalam hadits riwayat Imam Muslim, jilid I hal. 9 bab Muqaddimah).
Padahal menurut pemahaman yang benar, maksud dari ucapan
tersebut adalah diperuntukkan bagi ahli-ahli hadits yang memang harus. Yaitu
pada jaman atau tahap-tahap permulaan hadits itu di himpun. Jaman itu jaman dari
mulai sahabat Nabi SAW kemudian jaman Tabi'in (generasi yang belajar kepada
generasi sahabat) kemudian jaman Tabi'it Tabi'in (generasi yang belajar kepada
generasi Tabi'in) kemudian generasi berikutnya belajar kepadanya itu.
Telah kita ketahui di dalam sejarah Islam, bahwa hanya
sampai kepada generasi ketiga yaitu Tabi'it Tabi'in pun ilmu agama telah
tersebar luas, lintas pulau dan lintas bangsa, dan syari'at telah sempurna
ditambah dengan adanya ulama-ulama yang mencatatnya dengan teliti dan cermat
sehingga kita generasi sekarang dapat belajar dan melihat hasil-hasil jerih
payah para ulama jaman dahulu dalam kitabnya.
Kemudian, bagaimana mungkin seorang yang bernama
Madigol/Nur Hasan dari Jawa Timur Indonesia yang lahir baru kemarin (1915
Masehi), yang sudah ribuan tahun jaraknya dari bermulanya sumber ilmu Islam itu
kemudian mengklaim dirinyalah yang ilmunya sah dan yang lain batil. Maka jika
dibalik dengan ilmunya Madigol keliru dan sesat itulah yang lebih tepat dan
meyakinkan. Maka hanya orang-orang yang masih dikaruniai oleh Allah akal sehat
sajalah yang dapat memahami hal ini.
Camkanlah kata-kata yang telah keluar dari amir LDII
kepada salah seorang angota jama'ahnya yang telah melanggar aturannya dengan
mempelajari ilmu Islam, yaitu bahasa Arab dari luar :
"Kita orang ini (Islam
Jama'ah/LDII) adalah ahli sorga semuanya, jadi tidak usah belajar bahasa arab,
nanti kita di Surga akan bisa bahasa Arab sendiri. Pokoknya yang penting kita
menepati lima bab yaitu doktrin setelah berbai'at 1. Mengaji, 2. Mengamalkan, 3.
Membela, 4. Berjama'ah, 5. Taat Allah, Rasul, Amir, pasti wajib tidak boleh
tidak masuk sorganya." Inilah bahaya ilmu manqul itu. Bukankah itu penipuan
terselubung besar-besaran di tengah-tengah lautan umat Islam di dunia ini ?
Sampai pernah ada kejadian, salah satu anggota Islam
Jama'ah/LDII, bapaknya meningal dunia. Karena bapaknya belum ber-amir dan
berbai'at, maka dihukumi mati kafir. Maka seorang anak tidak boleh mendoakan dan
mensolati jenazahnya. Tetapi karena didesak oleh keluarganya akhirnya dengan
terpaksa dia mensolati tetapi tidak berwudhu karena takut melanggar bai'at.
Daripada melanggar bai'at yang akibatnya masuk neraka, katanya, lebih baik
menipu Allah dan membohongi sanak keluarga dan kaum muslimin lainnya. Sifat
seperti ini kalau bukan orang munafik siapa lagi ? Dan Allah SWT telah
berfirman, yang artinya :
"Mereka hendak menipu Allah dan
orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedangkan
mereka tidak sadar." (Q.S.Al-Baqarah:9)
Benar, mereka tidak sadar bahwa dirinya telah tertipu.
Na'udzubilahimindzalik.