Koran Tribun Timur Makassar, Jum’at, 23 Januari 2009,
menurunkan artikel Supa Atha’na (Tokoh Syiah di Makassar dan Direktur Iranian
Corner Universitas Hasanuddin (ICU) Makassar) dalam tribun opini dengan judul
“Assikalaibineng, Refleksi Pemikiran Muslim Persia”, di dalam artikel itu Supa
Atha’na ingin menegaskan bahwa orang persia punya peran yang sangat besar dalam
proses islamisasi di daerah-daerah yang bersuku Bugis-Makassar, dia
menyebutkan:
“Sementara disebutkan bahwa sayid Jamaluddin Kubra Al
Husein adalah kakek dari walisongo di tanah jawa, yang kelahiran samarkand,
Persia datang ke tanah Bugis, Tosara-Wajo, adapun tahun kedatangannya banyak
versi, tapi umumnya menyebutkan seputar tahun 1300-an. Bandingkan dengan
kedatangan datuk Ribandang, datuk Patimang dan Datuk Ditiro yang disebut-sebut
penyebar Islam di tanah Bugis-Makassar kedatangannya sekira tahun 1600. Ada 300
tahun jarak di antara mereka.”
Untuk menguatkan pernyataan itu ia mendatangkan bukti
dengan menyebutkan kutipan buku bacaan orang tua bugis makassar yang berjudul
“Assikalaibineng” yang di dalamnya tertulis “Allah Taala Mabberattemu Muhamma’
mappenedding Ali mappugau Patima ttarimai” namun parahnya dia terjemahkan kosa
kata bahasa bugis tadi secara terang-terangan dan ia mengatakan:
“Allah Taala yang bersetubuh, Muhammad yang merasakan,
Ali yang berbuat, fatimah yang menerimanya.Antara Allah, Rasulullah, Ali dan
Fathimah adalah sebuah kemanunggalan atau dalam istilah tasawwuf
disebut Wahdatul Wujud. Pengertian sederhana wahdatul wujud adalah bersatunya
Tuhan dengan manusia yang telah mencapai hakiki atau dipercaya telah suci.
Ada pun guru besar pertama konsep wahdatul wujud adalah
Husain Ibn Mansyur al Hallaj, yang kesohor dengan sebutan al Hallaj, sufi Persia
lahir pada 26 maret 866 M. konsep wahdatul wujud itu bersumber dan berkembang
dari tradisi pemikiran Islam Persia.”
Di kantor LPPI Makassar ada buku yang berjudul
“Assikalaibineng” yang dia maksud, dan betul apa yang dia tulis dengan apa yang
ada dalam buku itu. namun yang perlu diketahui bahwa penulis buku itu tidak
beraliran Syiah, ia hanya mengutip dan mengumpul-ngumpulkan manuskrip-manuskrip
lontara yang menjadi bahan bacaan sebagai panduan berhubungan badan suami-istri
orang-orang tua zaman dulu Bugis-Makassar, karena dalam buku itu juga disebutkan
tentang Abu Bakar, Umar dan Utsman yang mereka merupakan Khulafa’ Rasyidun
bersama dengan Ali bin Abi Thalib.
Penulis buku “Assikalaibening” tidaklah beraqidah Syiah
yang dimana dalam Aqidah Syiah 3 sahabat nabi (Abu Bakar, Umar dan Utsman)
sangat dibenci dan bahkan dikafirkan. Dan mungkin karena kurangnya ilmu agama
yang dimiliki sang penulis, banyak dalam buku itu praktek-praktek hubungan badan
dengan bentuk dan bacaan-bacaan yang aneh dan sama sekali tidak diajarkan oleh
agama Islam, bahkan hal yang sangat sensitif yang berkaitan dengan aqidah-pun
dia tidak seleksi dari manuskrip-manuskrip lontara tadi.
Namun Supa Atha’na memanfaatkan keteledoran penulis buku
untuk dia dijadikan rujukan atas pernyataannya dari judul artikel yang dia tulis
“Assikalaibineng, Refleksi Pemikiran Muslim Persia”, di akhir tulisan, Supa
Atha’na memberikan kesimpulan “Dengan pemaparan di atas maka sebagai kesimpulan
bahwa yang mengajarkan konsep Assikalaibineng adalah muslim dari negeri
persia”
Penjelasan Terhadap Aqidah Wahdatul Wujud, berikut kami
kutipkan dari tulisan Ustadz Muhammad Ashim bin Musthafa dari situs
almanhaj.or.id (http://almanhaj.or.id/content/2769/slash/0)
-----------------------------------------
HAKIKAT KEYAKINAN WIHDATUL WUJUD DAN
PELOPORNYA
Keyakinan wihdatul wujud, merupakan pemahaman ilhadiyah
(kufriyah) yang muncul setelah dipenuhi dengan keyakinan hulul. Yaitu, dalam
istilah Jawa disebut manunggaling kawula lan gusti. Artinya, bersatunya makhluk
dengan Tuhan, pada sebagian makhluk. Tidak ada keterpisahan antara keduanya.
Muaranya, segala yang ada merupakan penjelmaan Allah Azza wa Jalla. Tidak ada
wujud selain wujud Allah. Hingga akhirnya berpandangan, tidak ada sesuatu pun di
alam semesta ini, kecuali Allah. Pemikiran sesat seperti ini, tidak lain kecuali
berasal dari keyakinan Budha dan kaum Majusi.[1]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan,
bahwa mereka (orang-orang yang berkeyakinan dengan aqidah wihdatul wujud) telah
melakukan ilhad (penyimpangan) dalam tiga prinsip keimanan (iman kepada Allah,
RasulNya dan hari Akhirat). Menurut Syaikhul Islam, dalam masalah iman kepada
Allah, mereka menjadikan wujud makhluk merupakan wujud Pencipta itu sendiri.
Sebuah ta’thil (penghapusan sifat-sifat Allah) yang sangat keterlaluan.[2]
Pemahaman seperti ini sungguh sangat nista dan kotor.
Karena, konsekwensinya berarti seluruh keburukan, binatang-binatang najis,
kejahatan, iblis, setan dan perihal buruk lainnya merupakan jelmaan Allah. Maha
Suci Allah dari perkataan orang-orang mujrimin (berbuat kejelekan).
Keyakinan seperti inilah yang menjadi landasan aqidah
Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad bin ‘Arabi Abu Bakr al Hatimi. Dia lebih dikenal
dengan nama Ibnu ‘Arabi [3]. Lahir tahun 560 H di Andalusia dan meninggal tahun
638 H. Menurut adz Dzahabi, ia (Ibnu ‘Arabi) sebagai kiblat orang-orang yang
menganut paham aqidah wihdatul wujud [4]. Simak dua bait syair yang tak pantas
ini :
Tidaklah anjing dan babi kecuali sesembahan kami…Dan
bukanlah Allah, kecuali seorang pendeta di gereja! [5]
Lebih jauh Syaikhul Islam menjelaskan bahwa, keyakinan
seperti ini diadopsi dari pemikiran para filosof, seperti Ibnu Sina dan
lain-lain. Yang kemudian dikemas dengan baju Islam melalui tasawuf. Kebanyakan
terdapat dalam kitab al Kutubul Madhnun biha ‘Ala Ghairi Ahliha.[6]
------------------------------------------------
SYUBHAT SEPUTAR UNGKAPAN KUFUR IBNU ‘ARABI
Kitab Fushulul Hikam dan al Futuhat al Makkiyah, dua
karya Ibnu ‘Arabi yang sangat terkenal ini, sarat dengan perkataan-perkataan
tentang wihdatul wujud, penafian perbedaan antara Khaliq (Pencipta) dengan
makhlukNya, dan penetapan penyatuan antara keduanya. Sangat jelas, dari dua buku
ini, betapa rusak aqidah penulisnya dan orang-orang yang mengikutinya.
Sebagai contoh, misalnya dalam sebuah penggalan syairnya,
Ibnu ‘Arabi berkata:
الْعَبْدُ رَبٌّ وَالرَّبُّ عَبْدٌ يَا لَيْتَ شِعْرِيْ
مَنِ الْمُكَلَّفُ
Hamba adalah Rabb, dan Rabb merupakan hamba. Aku bingung,
siapa gerangan yang menjadi mukallaf.
Ia juga mengatakan :
عَقَدَ الْخَلَائِقُ فِيْ الْإلِه عَقَائِدَ وَأَنَا
اعْتَقَدْتُ جَمِيْعَ اعْتَقَدُوهُ
Semua makhluk berkeyakinan tentang ilah (sesembahan)
dengan berbagai keyakinan. Dan aku berkeyakinan (tentang ilah) dengan seluruh
yang mereka yakini itu.[7]
Begitu juga dengan perkataannya :
Dia menyanjungku, aku pun memujiNya. Dia menyembahku, dan
aku pun menyembahNya.
Dalil yang ia catut untuk mendukung argumentasinya, yaitu
firman Allah dalam an Nur/24 ayat 39 :
وو جد الله عنده
“Dan didapatinya (ketetapan) Allah di sisinya”.
Juga dengan mengusung hadits palsu berikut :
مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ رَبَّهُ
“(Barangsiapa mengenal dirinya, sungguh ia telah mengenal
Rabb-nya)”.
Mengenai argumentasi yang dibawakan ini, Dr. Ghalib
‘Awaji memberikan komentar : “Ini merupakan istidlal (pengambilan dalil) yang
sangat aneh dan mungkar yang diucapkan oleh seseorang. Bagaimana mungkin
mengatakan al Qur`an dan Sunnah mengajak ilhad dan kekufuran kepada Allah? Oleh
karenanya, Ibnu Taimiyah mengatakan, kekufuran mereka lebih parah daripada
kekufuran Yahudi dan Nashara serta kaum musyrikin Arab” [9]. Adapun Ahlu Sunnah
menetapkan, sebagaimana dikatakan Ibnul Abil ‘Izz rahimahullah [10] : “Ahlu
Sunnah bersepakat, tidak ada sesuatu pun menyerupai Allah, baik pada dzatNya,
sifatNya maupun af’al (perbuatan-perbuatan)Nya”.
Mengenai keimanan kepada hari Akhir, Ibnu ‘Arabi
berpendapat, bahwa penghuni neraka juga merasakan kenikmatan di neraka,
sebagaimana yang dinikmati oleh penghuni jannah di jannah. Karena adzab (yang
berarti siksaan), disebut demikian, lantaran kenikmatan rasanya (‘udzubatu
tha’mihi, dari kata adzbun yang berarti lezat).
Sementara itu, tentang keimanan kepada para rasul,
penganut wihdatul wujud juga melakukan penodaan yang tidak ringan terhadap gelar
terhormat para rasul. Menurut mereka, penutup para wali Allah itu lebih berilmu
daripada penutup kenabian. Mereka berpendapat, para nabi -termasuk pula Nabi
Muhammad- mengambil ilmu dari celah wali terakhir.
Tentu, pendapat seperti ini, sangat jelas melanggar
nash-nash agama dan cara berpikir yang . Seperti sudah dimaklumi, orang yang
datang di akhir, ia akan mengambil manfaat dari orang yang berada di depannya.
Bukan sebaliknya. Dalam perspektif agama, wali Allah yang paling utama, ialah
orang-orang yang mengambil ilmu dari nabi yang mulia. Dan wali Allah yang paling
mulia dari umat ini adalah, orang-orang shalih yang menyertai Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Allah berfirman:
“Jika kamu berdua bertaubat kepada Allah, maka
sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan); dan jika
kamu berdua bantu-membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah
Pelindungnya dan (begitu pula) Jibril dan orang-orang mu’min yang baik; dan
selain dari itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula”. [at Tahrim/66 :
4].
Menurut kesepakatan para imam salaf dan khalaf, wali
Allah yang paling afdhal adalah Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu kemudian ‘Umar
Radhiyallahu ‘anhu.
Berbeda dengan pandangan orang-orang mulhid tersebut
(Ibnu Arabi dkk), mereka lebih mengutamakan ahli filsafat ketimbang seorang
nabi. Ibnu ‘Arabi sendiri mengatakan : “Sesungguhnya penutup para wali mengambil
langsung dari piringan logam yang diambil oleh malaikat untuk diwahyukan kepada
nabi”. Pernyataan ini sangat nampak pelanggarannya terhadap al Kitab, as Sunnah
dan Ijma’.[11]
------------------------------------
MEREKA LEBIH BODOH DARI FIR’AUN [12]
Orang-orang yang mengklaim telah mencapai tingkatan
tahqiq, ma’rifah, dan wilayah yang memegangi aqidah wihdatul wujud, asal-muasal
perkataan mereka merujuk pernyataan Bathiniyah, dari kalangan kaum filosof,
Qaramithah dan semisalnya. Mereka sejenis dengan Fir’aun, namun lebih bodoh
darinya. Fir’aun, memang sangat keras pengingkarannya, tetapi ternyata, ia tetap
meyakini keberadaan Pembuat alam semesta (Allah) yang berbeda dengan alam
semesta. Fir’aun memperlihatkan pengingkaran, tidak lain karena demi meraih
kharisma, dan bermaksud menunjukkan jika perkataan Musa sama sekali tidak ada
hakikatnya. Lihat al Qur`an surat al Mu’min/40 ayat 36-37.
Sedangkan penganut wihdatul wujud, meski meyakini adanya
Pembuat alam semesta ini, tetapi mereka tidak menetapkan wujudNya yang berbeda
dengan alam ini. Mereka berpendapat, wujudNya sama dengan wujud alam semesta.
Bahkan menjadikan Dia menyatu dengan alam semesta. Sungguh suatu pandangan batil
yang sangat menyimpang. Bagaimana mungkin al Khaliq sama dengan makhlukNya dari
segala sisi? Allah berfirman:
“… Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan
Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. [asy Syura/42 : 11].
Al Imam ath Thahawi mengatakan: “Persangkaan-persangkaan
tidak bisa sampai kepada (hakikat)Nya. Pemahaman-pemahaman pun tidak akan
mencapai (hakikat)Nya”. Ibnu Abil ‘Izzi menambahkan pernyataan al Imam ath
Thahawi ini dalam syarahnya dengan mengatakan : “Dan Allah Ta’ala tidak
diketahui bagaimana dzatNya, kecuali Dia sendiri Subhanahu wa Ta’ala . Kita
mengenalNya hanyalah melalui sifat-sifatNya” [14]. Syaikhul Islam juga
mengatakan : “Aqidah yang dibawa para rasul dan yang termuat pada kitab-kitab
yang Allah turunkan, serta sudah menjadi kesepakatan Salaful Ummah dan para
tokohnya, yaitu penetapan pencipta yang berbeda dengan ciptaannya, dan Dia
berada di atasnya (ciptaanNya)”. [15]
Demikian ditinjau dari aspek agama (dalil). Sedangkan
dari aspek aqli (logika), sungguh tidak mungkin pencipta menyerupai yang
dicipta. Apalagi kalau semua makhluk adalah juga pencipta. Tentu sangat
mustahil.
--------------------------------------------
PENGUSUNG AQIDAH WIHDATUL WUJUD LAINNYA
Selain Ibnu ‘Arabi, ada beberapa tokoh yang ikut
mengusung pemikiran wihdatul wujud. Di antaranya adalah Ibnul Faridh. Dalam kumpulan syairnya
yang populer, yaitu Ta`iyyah, ia mengungkapkan hakikat aqidahnya. Dia menyatakan
dirinya sebagai mumatstsil kabir lillah (penjelma Allah yang besar) dalam sifat
dan perbuatanNya.
Abdul Qadir al Jili, penulis kitab al Insanul
Kamil, guru Abdul Qadir al Jailani. Dalam salah satu selorohannya, ia berkata :
“Dan sesungguhnya aku adalah Rabb bagi alam. Dan penguasa seluruh manusia itu
sebuah nama. Dan akulah orangnya”.
Abu Hamid al Ghazali, dalam kitab Ihya` Ulumuddin,
saat menjelaskan maratibut tauhid (tingkatan-tingkatan tauhid) yang keempat, ia
mengatakan : “Tingkatan tidak melihat dalam alam ini kecuali satu wujud
saja”.
Untuk menjawab kebingungan orang yang mempermasalahkan
bagaimana bisa dikatakan satu, padahal banyak hal yang terlihat dan
berbeda-beda? Maka ia menjawab: “Ketahuilah, itulah puncak mukasyafat dan
rahasia-rahasia ilmu. Tidak boleh dituangkan dalam sebuah kitab. Orang-orang
yang arif berkata,’Membeberkan rububiyah adalah kufur’.”
Jawaban ini mengandung tuduhan kepada Allah dalam
menjelaskan aqidah, karena secara implisit dari jawabannya berarti Allah belum
menerangkannya dengan sejelas-jelasnya, demikian juga Rasul Shallallahu ‘alaihi
wa sallam. tidak diketahui kecuali orang-orang yang sudah mencapai tingkatan
kasyf dalam wacana sufi. [16]
Jalaluddin ar Rumi, penyair dari Persia (Iran)
ini, dalam kumpulan puisinya yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Arab, ia
mengatakan: [17]
Bila di dunia ini ada orang mukmin, orang kafir atau
pendeta Nashrani, maka aku adalah dia. Aku hanya punya satu tempat ibadah, baik
itu masjid, gereja ataupun candi.
----------------------------------------------
WIHDATUL AD-YAN (PENYATUAN AGAMA-AGAMA) SALAH SATU
KONSEKWENSI DARI WIHDATUL WUJUD
Dengan pemikiran yang telah dipaparkan di atas, keyakinan
Wihdatul Wujud, juga melahirkan wacana, yang kini telah digagas para
pengekornya, yaitu usaha untuk mempersatukan agama-agama.
Sebuah anggapan bahwa semua agama adalah benar, memiliki tujuan yang sama. Yaitu menyembah tuhan yang sama, hanya berbeda dalam cara. Pandangan sesat seperti ini, tidak diragukan lagi merupakan kekufuran yang sangat nyata.[18]Tak ayal, pemikiran ini mendapat sambutan yang sangat luar biasa dari kalangan Orientalis dan musuh-musuh Islam lainnya.
Karena, pada gilirannya berarti semua keyakinan adalah
benar, tidak ada perbedaan antar-manusia. Seluruh agama kembali kepada satu
keyakinan, karena semuanya jelmaan dari Tuhan.
Dikatakan oleh Allen Nicholson, diantara konsekwensi
pemikiran wihdatul wujud, yaitu pernyataan mereka tentang kebenaran semua aqidah
dalam agama-agama, apapun bentuknya.
Lebih jauh ia mengatakan : “Sebenarnya al Ghazali lebih
toleran terhadap sebagian sufi Wihdatul Wujud, semisal Ibnu ‘Arabi dan
lain-lainnya dari kalangan sekte sufi yang menjadi kawan-kawan kami dalam agama
liberal itu, dengan seluruh maknanya”.[19]
Sudah pasti Islam berlepas diri dari pemikiran yang
sangat menyimpang ini. Pemikiran ini telah mencampur-adukkan antara yang benar
dan batil. Sehingga dapat menyebabkan hilangnya identitas kaum Muslimin,
meninggalkan amar ma’ruf nahi mungkar, dan jihad di jalan Allah.
Oleh karena itu, kaum Orientalis memberikan perhatian
yang besar terhadap keyakinan rusak ini. Yaitu dengan lebih memperdalam mengkaji
tentang tashawwuf. Karena, tashawwuf ini mendukung sebagian tujuan mereka. yakni
untuk melupakan kaum Muslimin dengan ajaranya, dan juga unutk memecah-belah kaum
Muslimin. Dengan pemikiran Wihdatul Wujud, orang-orang Orientalis merasa
memiliki sarana yang tepat untuk menyebarkan berbagai kekufuran.
--------------------------------------------------
KISAH ORANG YANG BERTAUBAT DARI AQIDAH IBNU
‘ARABI
Ibnu Taimiyah rahimahullah mengisahkan : Ada seseorang
yang tsiqah (terpercaya) telah bertaubat dari mereka. Ketika ia mengetahui
rahasia-rahasia mereka, maka ada (penganut wihdatul wujud) yang membacakan buku
Fushul Hikam karya Ibnu ‘Arabi.
Orang yang tsiqah ini berkata : “Bukankah ini menyelisihi
al Qur`an”.
Orang itu menjawab,”Memang al Qur`an semuanya berisi
kesyirikan. Tauhid hanya ada pada pernyataan kami saja,”
Maka ia (orang yang tsiqah ini) kembali bertanya : “Kalau
semua itu sama saja, mengapa putrimu diharamkan atasku, sementara istriku halal
untukku?”.
Orang itu menjawab,”Dalam pandangan kami, tidak ada
bedanya antara istri dan anak perempuan. Semua halal (untuk dinikmati).”
[20]
Itulah sekilas tentang pemikiran Wihdatul Wujud. Masih
banyak fakta-fakta sesat lainnya yang dilakukan oleh tokoh-tokoh pemikir ini.
Bisa dijumpai dalam kitab-kitab yang mengkritisi alirah tashawwuf secara umum.
Sebagian sudah ada yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Tema ini
diketengahkan, supaya seorang muslim sadar dan berhati-hati terhadap aqidah yang
sesat ini.
Wallahul hadi ila shirathil mustaqim.
Maraji :
- Ar Risalah ash Shafadiyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (728 H), tahqiq Abu Abdillah Sayyid bin ‘Abbas al Hulaimi dan Abu Mu’adz Aiman bin ‘Arif ad Dimasyqi, Adhwau as salaf, Riyadh, Cetakan I, Th. 1423H.
- Bayanu Mauqifi Ibnil Qayyim min Ba’dhil Firaq, Dr. ‘Awwad bin Abdullah al Mu’tiq, Maktabah ar Rusyd, Riyadh, Cetakan, III, Th. 1419H.
- Da’watut-Taqribi Bainal Ad-yan, Dr. Ahmad bin Abdir Rahman bin ‘Utsman al Qadhi, Darul Ibnil Jauzi, Dammam, Cetakan I, Th. 1422H.
- Firaq Mu’ashirah Tantasibu Ilal Islam, Dr. Ghalib ‘Awaji. Al Maktabah al ‘Ashriyyah adz Dzahabiyyah Jeddah. Cet. V. Th. 1426 H – 2005 M.
- Hadzihi Hiyash Shufiyah, Abdur Rahman al Wakil, tanpa penerbit dan tahun.
- Syarhul ‘Aqidatith-Thahawiyah, ‘Allamah Ibnu Abil ‘Izz al Hanafi, tahqiq sejumlah ulama, takhrij Syaikh al Albani, al Maktabul Islami, Beirut, Cetakan IX, Th. 1408H.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi (07-08)/Tahun
X/1427/2006M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi
Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Firaq Mu’ashirah, halaman 994.
[2]. Ar Risalah ash Shafadiyah, halaman 247.
[3]. Agar tidak timbul salah persepsi, perlu dibedakan antara Ibnu ‘Arabi dengan Ibnul ‘Arabi. Nama yang kedua diawali dengan alif lam ta’rif (Ibnu al ‘Arabi). Beliau adalah seorang ulama Malikiyah yang terkenal, dengan nama lengkap Abu Bakr Muhammad bin ‘Abdillah t (468-543 H). Di antara karyanya, Ahkamul Qur`an.
[4]. Dinukil dari Da’watut Taqrib, 1/339.
[5]. Dinukil dari Hadzihi Hiyash Shufiyah, halaman 64.
[6]. Ar Risalah ash Shafadiyah, halaman 265. Kitab tersebut milik al Ghazali.
[7]. Fushushul Hikam, halaman 345. Dinukil dari Da’watut Taqrib, 1/386.
[8]. Al Fushush, halaman 83. Dinukil dari Hadzihi Hiyash Shufiyah hlm. 43.
[9]. Firaq Mu’ashirah 3/994
[10]. Syarhul ‘Aqidatit-Thahawiyah, halaman 98.
[11]. Ar Risalah ash Shafadiyah, 251.
[12]. Ar Risalah ash Shafadiyah, Ibnu Taimiyah, 262.
[13]. Maqamat (tingkatan-tingkatan religi) dalam perspektif kaum Sufi.
[14]. Syarhul ‘Aqitatith-Thahawiyah, halaman 117.
[15]. Ar Risalah ash Shafadiyah, halaman 263.
[16]. Firaq Mu’ashirah Tantasibu Ilal Islam, 3/1002. Penulis kitab ini menukil keterangan Syaikh Abdur Rahman al Wakil perihal taubat al Ghazali yang berbunyi : “As Subki berupaya membebaskan peran al Ghazali (dalam aqidah ini) dengan dalihnya, bahwa ia (al Ghazali) menyibukkan diri dengan al Kitab dan as Sunnah di akhir hayatnya. Namun demikian, kaum Muslimin harus tetap diperingatkan dari warisan-warisan pemikiran al Ghazali yang terdapat pada kitab-kitab karyanya”. Hadzihi Hiyash Shufiyah, halaman 52. Pembahasan tentang Imam al Ghazali, pernah kami angkat pada edisi 7/Th. VI/1423H/2002M.
[17]. Dinukil dari Da’watut Taqrib (1/388-389).
[18]. Lihat Mauqifu Ibnil Qayyim, halaman 141; Hadzihi Hiyash Shufiyah, halaman 93; Da’watut Taqrib, 1/381-405.
[19]. Fit Tashawuf al Islami, Dinukil dari Hadzihi Hiyash Shufiyah, 50.
[20]. Ar Risalah ash Shafadiyah, halaman 247.
Footnote
[1]. Firaq Mu’ashirah, halaman 994.
[2]. Ar Risalah ash Shafadiyah, halaman 247.
[3]. Agar tidak timbul salah persepsi, perlu dibedakan antara Ibnu ‘Arabi dengan Ibnul ‘Arabi. Nama yang kedua diawali dengan alif lam ta’rif (Ibnu al ‘Arabi). Beliau adalah seorang ulama Malikiyah yang terkenal, dengan nama lengkap Abu Bakr Muhammad bin ‘Abdillah t (468-543 H). Di antara karyanya, Ahkamul Qur`an.
[4]. Dinukil dari Da’watut Taqrib, 1/339.
[5]. Dinukil dari Hadzihi Hiyash Shufiyah, halaman 64.
[6]. Ar Risalah ash Shafadiyah, halaman 265. Kitab tersebut milik al Ghazali.
[7]. Fushushul Hikam, halaman 345. Dinukil dari Da’watut Taqrib, 1/386.
[8]. Al Fushush, halaman 83. Dinukil dari Hadzihi Hiyash Shufiyah hlm. 43.
[9]. Firaq Mu’ashirah 3/994
[10]. Syarhul ‘Aqidatit-Thahawiyah, halaman 98.
[11]. Ar Risalah ash Shafadiyah, 251.
[12]. Ar Risalah ash Shafadiyah, Ibnu Taimiyah, 262.
[13]. Maqamat (tingkatan-tingkatan religi) dalam perspektif kaum Sufi.
[14]. Syarhul ‘Aqitatith-Thahawiyah, halaman 117.
[15]. Ar Risalah ash Shafadiyah, halaman 263.
[16]. Firaq Mu’ashirah Tantasibu Ilal Islam, 3/1002. Penulis kitab ini menukil keterangan Syaikh Abdur Rahman al Wakil perihal taubat al Ghazali yang berbunyi : “As Subki berupaya membebaskan peran al Ghazali (dalam aqidah ini) dengan dalihnya, bahwa ia (al Ghazali) menyibukkan diri dengan al Kitab dan as Sunnah di akhir hayatnya. Namun demikian, kaum Muslimin harus tetap diperingatkan dari warisan-warisan pemikiran al Ghazali yang terdapat pada kitab-kitab karyanya”. Hadzihi Hiyash Shufiyah, halaman 52. Pembahasan tentang Imam al Ghazali, pernah kami angkat pada edisi 7/Th. VI/1423H/2002M.
[17]. Dinukil dari Da’watut Taqrib (1/388-389).
[18]. Lihat Mauqifu Ibnil Qayyim, halaman 141; Hadzihi Hiyash Shufiyah, halaman 93; Da’watut Taqrib, 1/381-405.
[19]. Fit Tashawuf al Islami, Dinukil dari Hadzihi Hiyash Shufiyah, 50.
[20]. Ar Risalah ash Shafadiyah, halaman 247.
=============================
Sumber : www.arrahmah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar