Oleh DR. Adian Husaini
Istilah hermeneutika agaknya masih
sangat asing di telinga sebagian besar umat Islam di tanah air. Tidak demikian
halnya apabila melihat historis hermeneutika itu yang ternyata sudah ada selama
berabad-abad lampau serta berkembang pesat di Eropa Barat. Sebagai sebuah metode
interpretasi teks Bibel, hermeneutika terutama digunakan untuk mengakomodasi
dinamika perkembangan zaman. Dan inilah yang lantas melahirkan tradisi
sekular-liberalisme di Barat pada abad pertengahan. Kini, hermeneutika yang
berasal dari tradisi Barat-Nasrani tersebut coba diterapkan pada Alquran.
Mengutip majalah Islamia edisi Maret
2004, saat ini ada kecenderungan di kalangan Muslim modernis untuk menjadikan
hermeneutika sebagai pengganti ilmu tafsir Alquran. Di sejumlah perguruan tinggi
Islam di Indonesia, bahkan hermeneutika diajarkan sebagai mata kuliah khusus.
Akan tetapi, seperti dikemukakan Adian Husaini MA, kandidat PhD di International
Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) Kuala Lumpur, tradisi
keagamaan dalam memahami Alquran dan Bibel tentu berbeda dan realitasnya
menghasilkan peradaban yang berbeda pula. Terkait persoalan itu, berikut petikan
wawancara wartawan Republika Yusuf Assidiq dengan Adian seputar perkembangan
hermeneutika di sela workshop Pemikiran dan Peradaban Islam di Jakarta, akhir
pekan lalu:
------------------------------ ------------------------------ ------
Bisa
dijelaskan apa hermeneutika itu ?
Kajian hermeneutika ini menarik.
Bagi sebagian besar umat Muslim di Indonesia, termasuk kalangan cendekiawannya,
mungkin suatu istilah yang baru dikenal. Harmeneutika adalah metode
tafsir yang
berasal dari Yunani dan berkembang pesat
sebagai metode intepretasi Bibel. Jadi ini adalah sebuah metode interpretasi
yang hidup dalam tradisi Nasrani yang kemudian menumbuhkan tradisi Barat
sekuler-liberal setelah abad 16 dan 17. Itulah pertama perlu dicermati secara
objektif sebelum bersikap menerima atau menolak harmeneutika.
----------------------------- -------------------
Mengapa
harmeneutika muncul sebagai metode interpretasi dalam tradisi Nasrani
?
Ada beberapa alasan. Pertama, mereka
menggunakan harmeneutika sebagai satu metode interpretasi modern yang sudah
dilepaskan dari aspek sakralisasi teks Bibel. Nah, problemnya ada pada teks
Bibel itu sendiri. Karena metode interpretasi teks, maka yang pertama
disimpulkan dan disimak adalah teksnya. Sampai zamannya Martin Luther di abad
pertengahan, orang-orang Nasrani Barat masih menggunakan interpretasi literal
yang memandang Bibel adalah kata-kata Tuhan. Terbukti kemudian begitu banyak
problem dalam sejarah Nasrani ketika gereja mendominasi kehidupan masyarakat,
ekonomi, sosial dan politik.
Sampai pada zaman Renaissance,
mereka merasa bahwa selama ratusan tahun, mereka telah mati, hidup di bawah
cengkeraman kekuasaan gereja. Karena itulah, pada zaman pencerahan, mereka
melakukan revolusi besar-besaran terhadap berbagai pemikiran tentang kehidupan,
termasuk pula konsep keagamaan. Inti dari zaman pencerahan adalah merebaknya
paham sekularisme, humanisme dan liberalisme. Penafsiran tentang keagamaan pun
disubordinasikan ke dalam paham-paham ini. Termasuk pemahaman terhadap bibel
tadi. Berkembanglah hermeneutika modern sebagai perangkat tafsir teks, termasuk
teks kitab suci. Metode ini sangat berbeda dengan metode interpretasi
sebelum-sebelumnya dan langsung berkembang pesat. Hingga liberalisasi tidak bisa
dibendung lagi dan membongkar sendi-sendi agama Nasrani.
----------------------------- ------------------------------ ------------------------------ -----
Bagaimana kemudian hermeneutika digunakan juga untuk
menginterpretasikan teks Alquran ?
Di kalangan Barat muncul pertanyaan,
'Kan sekarang agama kita sudah begini, mengapa Islam tidak kita beginikan juga?
Nah untuk meliberalkan Islam hingga mengikuti jejak Barat, mau tidak mau harus
memasukkan harmeneutika yang merupakan alat penting bagi liberalisasi. Hal
tersebut jelas akan demikian kompleks selama Alquran dipahami sebagai
kalamullah. Orang Islam akan yakin kalau kalamullah yang paling paham adalah
Allah. Dan tentu manusia yang paham adalah Rasul-Nya, sahabat dan mereka yang
dekat dengan Rasul.
Jadi kalau mau menafsirkan Alquran,
maka harus ditafsirkan sebagaimana ditafsirkan Rasulullah, generasi sahabat atau
orang-orang terdekat. Itu logikanya 'kan. Dan itu tidak terjadi pada Bibel. Pada
dasarnya, teks harus bisa dianalisis secara histori dan manusiawi. Makanya
nanti, orang-orang Islam yang memakai harmeneutika akan membawa istilah-istilah
yang sama dengan bibel. Misalnya, Alquran jangan ditafsirkan secara literal
sesuai otoritas nabi, jamannya sudah berbeda dan sebagainya.
----------------------------- ------------------------------ --------------------------
Tapi
nyatanya tidak sedikit kalangan umat Muslim menggunakan hermeneutika ini
?
Problem yang dihadapi umat Islam
secara umum bisa dilihat pada sekitar tahun 1683, setelah dinasti Usmani
mengepung kota Wina untuk kali kedua dan gagal. Maka banyak yang menulis bahwa
inilah mulainya kecenderungan penurunan Islam dan awal kebangkitan Barat--walau
kebangkitan Barat sebenarnya sudah dimulai sejak zaman Renaissance. Akhirnya
banyak kaum muslim yang melihat kemajuan berbagai bidang di Barat, terjadilah
fenomena westernisasi serta sekularisasi di sebagian wilayah Muslim.
Harmeunetika juga begitu. Sejatinya,
harmeneutika yang kini dikembangkan sudah dilepaskan dari teks bibel.
Harmeunetika modern justru menjadi alat liberalisasi nasrani. Ini juga yang
sekarang dipakai untuk meliberalkan Islam. Bila kita baca buku pemikir Islam
yang memakai harmeuneik, Nazir Hamid Abu Zair, kita akan tahu bagaimana konsep
dia tentang wahyu. Dia katakan bahwa Alquran adalah produk budaya. Alquran
memang diwahyukan kepada Nabi Muhammad. Dan sebagai manusia biasa, Nabi Muhammad
menerima itu untuk kemudian merumuskannya. Nah ini yang menurut Nazir Hamid,
menempatkan Nabi Muhammad seperti pengarang Alquran.
----------------------------- ------------------------------ ------------------------------ --
Kalau
orang Islam sekarang mulai menggunakan hermeneutika, apa yang salah dengan
tafsir ?
Itulah yang coba ditanyakan ke
mereka. Sekarang tunjukkan bahwa tafsir sudah tidak bisa dipakai lagi. Sebab
bila kita merujuk pada pendapat para ahli sunnah, selalu dinyatakan Alquran
mesti ditafsirkan melalui sunnah Nabi atau pendapat sahabat dan tabi'i. Generasi
pertama ini dianggap paling otoritatis dan memahami tafsir.
----------------------------- ------------------------------ ------------------------------ -
Apa
sebenarnya dampak hermeneutika bagi umat Muslim ?
Kalau hermeunetika ini dikaji dengan
tidak kritis dan diadopsi begitu saja untuk menggantikan tafsir Alquran maka
akan terjadi dekonstruksi besar-besaran terhadap kesucian Alquran dan
tafsir-tafsirnya. Orang-orang ini memang belum menghasilkan tafsir baru sebab
mereka tidak mengembangkan keilmuan sistematis namun hanya melakukan
dekonstruksi. Orang dibuat tidak percaya Alquran lantaran ada campur tangan
manusia. Dari sini selanjutnya juga bakal lahir tafsir-tafsir yang 'tak
terkendali'. Ketika mulai keluar dari teks--orang-orang tersebut sebenarnya
tidak lagi percaya pada teks Alquran--maka yang terjadi siapa pun bisa
menafsiran Alquran sesuai cara pandangnya. Misalnya saja orang-orang feminis dan
pluralis tentu akan mencari ayat-ayat yang dapat mendukung sikap feminisnya atau
pluralisnya.
----------------------------- ------------------------------ -------------
Bisakah
metode ini diaplikasikan untuk menafsirkan Alquran ?
Diperlukan dua kajian penting.
Pertama, perbandingan antara konsep teks Alquran dan konsep teks Bibel. Kedua,
perbandingan antara sejarah peradaban Islam dan Barat. Namun untuk sementara,
dapat dipahami bahwa konsep teks Alquran dan bibel serta posisi masing-masing di
mata penganutnya jelas berbeda. Tradisi keagamaan dalam memahami Alquran serta
bibel sudah jelas berbeda dan realitasnya menghasilkan peradaban yang berbeda
pula. Seharusnya ini dipahami agar tidak bersikap latah.
------------------------------ ------------------------------ ------------
Sikap
kita sebagai umat Muslim ?
Saya kira yang terbaik bagi umat,
forum ini bisa dijadikan peluang terbaik untuk kembali mempelajari tafsir dengan
sebenar-benarnya dan hermeneutika. Susahnya pendidikan di perguruan Islam jarang
yang memberikan wacana kedua-duanya. Ada yang paham tafsir tidak paham
hermeneutika atau sebaliknya. Perlu dilakukan kajian secara serius. Dan
bagaimana pun juga umat perlu merespon secara ilmiah dan akademis. Juga sebagai
umat Muslim, sikap kita terhadap apapun, tidak hanya pada harmeunetika, sesuatu
yang asing perlu ditelaah dulu. Apa manfaatnya bagi umat, sesuai atau tidak
dengan nilai-nilai Islam dll. Itu perlu dilihat. Harmeunetika juga sama.
Membangun tradisi keilmuan apakah
sulit saat ini ?
Tidak sulit tapi memang berat.
Karena kita sekarang hidup dalam kultur yang tidak menghargai ilmu. Orang lebih
menghargai ratu kecantikan daripada pelajar yang menang olimpiade fisika. Dengan
kondisi seperti itu, membangun tradisi ilmiah sangat tidak mudah. Sebab tradisi
ilmiah adalah satu-satunya jalan untuk menuju kebangkitan.
______________________________ _____________
DR.
Adian Husaini lahir di Bojonegoro pada 17 Desember 1965.
Pendidikan formalnya ditempuh di SD-SMA di Bojonegoro, Jawa Timur. Gelar Sarjana
Kedokteran Hewan diperoleh di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian
Bogor, 1989. Magister dalam Hubungan Internasional dengan konsentrasi studi
Politik Timur Tengah diperoleh di Program Pasca Sarjana Universitas Jayabaya,
dengan tesis berjudul Pragmatisme Politik Luar
Negeri Israel. Sedangkan gelar doktor dalam bidang Peradaban Islam
diraihnya diInternational Institute of Islamic Thought
and Civilization -- Internasional Islamic University
Malaysia (ISTAC-IIUM), dengan disertasi berjudul “Exclusivism and Evangelism in the Second Vatican
Council: A Critical Reading of The Second Vatican Council’s
Documents in The Light of the Ad Gentes and the Nostra Aetate.
============================== ====
Sumber : Indonesia
Tanpa JIL
Tidak ada komentar:
Posting Komentar