a. Dalil Shalat Cepat
b. Ketentuan Fidyah Bagi Orang
Sakit
c. Maksud Setan Dibelenggu di Bulan Ramadhan
d. Menggabungkan Niat Puasa
e. Membatalkan Puasa saat Ramadhan, Kemudian Berjima’
f. Ketentuan Kafarat Bagi yang Jima’ di Bulan Ramadhan
g. Mencicipi Makanan Saat Berpuasa
--------------------------------------------
a. Dalil Shalat Cepat
Telah menjadi hal yang umum manakala bulan Ramadhan tiba,
di setiap masjid atau musholla diadakan sholat sunnah Tarawih secara berjamaah,
baik yang berjumlah 8 maupun 20 rakaat. Namun biasanya yang 20 rakaat dilakukan
secara cepat atau lebih cepat daripada yang hanya 8 rakaat. Adakah dasarnya
melakukan shalat secara cepat?
Dalil diperbolehkannya shalat sunnah cepat adalah didasari
dari berbagai macam hadits berikut ini:
“Bahwa Ummu Hani Ra. melihat Nabi Saw. melakukan shalat
Dhuha, beliau Saw. mandi di hari Fathu Makkah (saat itu) lalu shalat 8 rakaat,
dan tidak pernah kulihat Rasul Saw. shalat secepat itu, namun beliau
menyempurnakan rukuk dan sujud.” (Shahih Bukhari Bab al-Jum’at dan Bab
al-Maghaziy).
Dari Hafshah Ra.:
“Sungguh Rasul Saw. menanti muadzin untuk Shubuh, dan melakukan shalat Qabliyah
Shubuh dengan ringan (cepat) sebelum shalat Shubuh.” (Shahih al-Bukhari Bab
Adzan).
Dari Aisyah Ra.
berkata: “Rasul Saw. sangat cepat melakukan shalat Qabliyah Shubuh, hingga aku
berkata dalam hati apakah beliau Saw. membaca al-Fatihah atau tidak.” (Shahih
Bukhari Bab al-Jum’at).
Hadits
di atas dari Aisyah Ra. yg menyaksikan shalat Nabi Saw. sedemikian seakan tidak
membaca al-Fatihah. Teriwayatkan pula pada Shahih Muslim pada Bab Shalatul
Musafirin wa Qashriha, teriwayatkan dua hadits yang sama pada bab yang sama.
Jelas sudah diperbolehkannya
shalat sunnah dengan cepat, demikian teriwayatkan pula pada Jami’ al-‘Ulum wa
al-Hikam oleh Ibn Rajab bahwa diantara ulama salaf melakukan shalat sunnah 1000
rakaat. (Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam hadits no. 2 dan no. 50).
Bagaimana seorang melakukan shalat
1000 rakaat, terkecuali ia melakukannya dengan cepat. Jelas sudah
diperbolehkannya shalat sunnah dengan cepat, namun yang dimaksud menyempurnakan
rukuk dan sujud adalah tuma’ninah. Kadar tuma’ninah adalah sekadar seorang
membaca satu kali “Subhanallah” (kurang dari 1 detik). Maka jika seorang
melakukan shalat, pada i’tidal, rukuk, duduk, dan sujud ia harus berdiam segenap
tubuhnya sekadar minimal kadar di atas, jika kurang dari itu maka tidak sah
shalatnya.
Sebagaimana beberapa
hadits shahih bahwa Rasul Saw. menegur orang yang shalat cepat dan mengatakan
kamu belum shalat, karena ia terus bergerak tanpa berhenti sekadar
tuma’ninah.
---------------------
b. Ketentuan Fidyah Bagi Orang Sakit
Semisal ada orang yang sakit terus
menerus yang dimungkinkan tidak sembuh lagi, namun setelah 20 tahun kemudian
ternyata ia sembuh dan kuat berpuasa. Selama sakitnya ia membayar fidyah, apakah
tetap harus mengqadhai puasa yang telah diganti fidyah tersebut?
Kalangan Syafi’iyah berpendapat
bahwa bila pengakhiran qadha puasa tersebut sebab adanya ‘udzur yang istimrar
(terus menerus), baginya cukup mengqadha puasa itu tanpa menyertakan membayar
fidyah. Barangsiapa yang mengakhirkan qadha puasa Ramadhan, padahal memiliki
kesempatan untuk mengqadhanya, hingga memasuki Ramadhan yang lain (Ramadhan
berikutnya) wajib baginya di setip hari yang pernah ia tinggalkan satu mud (6,5
ons) karena enam shahabat nabi menyatakan masalah ini dan tidak ada perbedaan di
antara mereka, dan ia berdosa sebab mengakhirkannya.
Imam an-Nawawi berkata dalam kitab al-Majmu’: “Dan wajib
baginya satu mud sebab mengakhirkannya hingga masuk Ramadhan berikutnya. Sedang
bagi yang tidak berkesempatan mengqadhainya karena udzurnya yang terus
berlangsung hingga memasuki Ramadhan berikutnya maka tidak berkewajiban membayar
fidyah (sehari satu mud) sebab pengakhiran qadhanya.” (Al-Iqna’ li asy-Syarbiniy
juz 1 halaman 243).
Sedangkan
pendapat yang menyatakan tidak perlu mengqadhainya lagi adalah pendapat Ibn
Abbas, Ibn Umar, Sa’id bin Jubir dan Qatadah: “Puasa yang ada dijalani, puasa
yang telah lewat fidyahnya dibayari dan tidak ada qadha puasa lagi.” (Al-Majmu’
‘ala Syarh al-Muhaddzab juz 4 halaman 366).
---------------------
c. Maksud
Setan Dibelenggu di Bulan Ramadhan
Di bulan Ramadhan benarkah para setan dibelenggu, melihat
faktanya sewaktu berpuasa masih saja ada yang berpacaran dan maksiat lainnya
masih tetap terjadi?
Hal itu
terjadi karena masih dimungkinkan kejelekan tersebut terjadi akibat nafsu yang
jelek dari seseorang atau pengaruh setan dari bangsa manusia.
Berkata Imam al-Qurthubiy setelah
mengunggulkan pernyataan hadits “Pada bulan Ramadhan pintu neraka ditutup rapat
dan pintu surga dibuka selebar-lebarnya dan setan diborgol” pada dzahirnya
hadits, bila ditanyakan “Bagaimana kita masih banyak melihat kejelekan dan
maksiat terjadi di bulan Ramadhan bila memang setan telah diborgol?” Kejelekan
tersebut menjadi jarang terjadi pada orang yang berpuasa dengan menjalankan
semua syarat-syaratnya dan menjaga adab-adabnya. Atau yang diborgol hanyalah
sebagian setan tidak semuanya seperti keterangan di sebagian riwayat terdahulu.
Atau yang dimaksud adalah sedikitnya kejelekan di bulan Ramadhan, ini adalah hal
nyata karena kejelekan di bulan Ramadhan kenyataannya memang lebih sedikit
dibanding di bulan-bulan lainnya dan bukan berarti apabila semua setan diborgol
di bulan Ramadhan sekalipun, tidak akan terjadi kejelekan dan kemaksiatan karena
masih dimungkinkan kejelekan tersebut terjadi disebabkan oleh nafsu yang jelek
atau setan dari sebangsa manusia.”
Dan berkata ulama lainnya: “Pengertian setan dibelenggu di
bulan Ramadhan adalah tidak adanya lagi alasan seorang mukallaf, seolah-olah
dikatakan: “Telah tercegah setan dari menggodamu maka jangan beralasan dirimu
karenanya (godaan setan) saat meninggalkan ketaatan dan menjalani kemaksiatan.”
(Fath al-Bari juz 4 halaman 114-115).
------------------------
d.
Menggabungkan Niat Puasa
Menggabung niat beberapa puasa sunnah seperti puasa ‘Arafah
dan puasa Senin Kamis adalah boleh dan dinyatakan mendapatkan pahala keduanya.
Sebagaimana dikemukakan oleh Imam al-Kurdi. Bahkan menurut Imam al-Barizi puasa
sunnah seperti hari ‘Asyura, jika diniati puasa lain seperti qadha Ramadhan
tanpa meniatkan pauasa ‘Asyura tetap mendapatkan pahala keduanya.
Adapun puasa 6 hari bulan Syawal
jika digabung dengan qadha Ramadhan, maka menurut Imam Romli mendapatkan pahala
keduanya. Sedangkan menurut Abu Makhromah tidak mendapatkan pahala keduanya
bahkan tidak sah. (I’anat ath-Thalibin juz 2 halaman 252, Fath al-Wahab juz 1
halaman 206, Bughyat al-Mustarsyidin halaman 113-114 dan al-Fawaid al-Janiyyah
juz halaman 145).
-----------------------------
e. Membatalkan Puasa saat Ramadhan, Kemudian Berjima’
Suami istri dalam keadaan musafir,
lalu mengambil rukhshah untuk tidak berpuasa (membatalkan puasanya). Setelah itu
keduanya melakukan jima’, bagaimana hukumnya?
Baginya tidak wajib kafarat, bahkan bila tadinya ia
berpuasa kemudian di tengah jalan dibatalkan dengan jima’ maka tidak wajib
kafarat menurut Imam Syafi’i karena berbuka puasa saat musafir baginya mubah.
(Syarh al-Minhaj juz 2 halaman 345, Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah juz 1 halaman
903 dan Ikhtilaf al-Ummah juz 1 halaman 250).
Namun menurut Imam Malik dan Imam Hanafi wajib kafarat,
sedangkan menurut Imam Syafi’i dan Imam Hanbali tidak wajib. (Syarh al-Minhaj
juz 2 halaman 345, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh juz 3 halaman 97 dan
al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah juz 28 halaman 44).
--------------------------------
f.
Ketentuan Kafarat Bagi yang Jima’ di Bulan Ramadhan
Terdapat tiga pendapat dalam masalah kafarat (denda
pelanggaran) sebab persenggamaan atau jima’ di siang bulang Ramadhan:
1. Kewajiban kafaratnya khusus
bagi suami (pendapat paling shahih).
2. Kewajiban kafaratnya bagi suami dan istri (satu kafarat
untuk mereka berdua).
3.
Masing-masing suami istri wajib mengeluarkan kafarat. Pendapat paling shahih
adalah yang menyatakan kewajiban kafarat khusus bagi suami sebagai denda buatnya
sendiri, dan untuk istri tidak diwajibkan sesuatupun (kecuali qadha).
4. Kewajibannya bagi suami hanya
saja dia wajib mengeluarkan dua kafarat dari hartanya, satu kafarat untuk
dirinya dan satu kafarat untuk istrinya (ini pendapat ad-Darami dan lainnya).
(Al-Majmu’ ‘ala Syarh al-Muhadzdzab juz 6 halaman 331-332).
-------------------------------
g.
Mencicipi Makanan Saat Berpuasa
Dimakruhkan mencicipi makanan (bagi orang yang puasa)
tersebut bila memang untuk orang yang tidak ada kepentingan. Sedangkan bagi
seorang pemasak makanan baik laki-laki atau perempuan atau orang yang memiliki
anak kecil yang mengunyahkan makanan buatnya maka tidak dimakruhkan mencicipi
makanan buat mereka seperti apa yang difatwakan Imam az-Ziyadi. (Asy-Syarqawiy
juz 1 halaman 445).
Wallahu
A’lam.
=======================
https://www.facebook.com/Iimam.awaludin/posts/498564073547546
Tidak ada komentar:
Posting Komentar